Tuesday 31 October 2017

PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  LatarBelakang

Keadaan geografis Indonesia yang berupa kepulauan berpengaruh terhadap mekanisme pemerintahan di Indonesia.Dengan keadaan geografis yang berupa kepulauan ini menyebabkan pemerintah sulit mengkoordinasi pemerintahan yang ada di daerah.Untuk memudahkan pengaturan atau penataan pemerintah, maka diperlukan adanya suatu system pemerintah yang dapat berjalan secara efesien dan mandiri tetapi tetap terawasi daripusat .
Di era revormasi ini, sangat dibutuhkan system pemerintahan yang memungkinkan cepatnya penyaluran aspirasi rakyat, namun tetap berada dibawah pengawasan pemerintah pusat.selain itu, Sumber daya alam di Indonesia yang tidak merata juga merupakan salah satu penyebab diperlukannya system pemerintahan .Oleh karena itu pemerintah pusat membuat suatu system pengelolaan pemerintah tingkat daerah yang disebut dengan otonomi daerah.



1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian otonomi daerah?
2.      Bagaimana daya tarik otonomi daerah?
3.      Apa penyebab otonomi daerah di Indonesia tidak optimal?
4.      Bagaimana cara memulihkan otonomi daerah di Indonesia?
BAB 11
PEMBAHASAN
2.1 PengertianOtonomi
            Otonomi adalah mengembangkan manusia - manusia Indonesia yang otonom, yang memberikan keleluasan bagi terkuaknya potensi – potensi terbaik yang dimiliki oleh setiap individu secara optimal. Individu - individu yang otonom menjadi modal dasar  bagi berwujudan otonomi daerah yang hakiki. Maksut dan tujuan otonomi daerah agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan pemerintah agar pemerintah tidak hanya di jalankan oleh pemerintah pusat. Tapi daerahpun di beri hak mengurus sendiri kebutuhannya, agar kepentingan umum suatu daerah dapat diurus menjadi lebih baik.  Untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi keadilan dam pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan NKRI. Oleh karena itu, penguatan otonomi daerah harusmembuka kesempatan yang sama dan seluas – luasnya bagi setiap pelaku dalam rambu - rambu yang di sepakati bersama sebagai jaminan terselenggaranya social order. Di luaritu, pada prinsipnya tidak boleh ada pembatasan khususnya dalam mobilitas faktor – faktor produksi. Otonomi juga memberikan peluang bagi persaingan sehat antar daerah, tentu saja  dengan jaringan –jaringan pengaman, bagi tercapainya persyaratan minimum bagi daerah - daerah yang di pandang masih belum mampu menyejajarkan diri dalam suatu level of playing flied.
            Kini kita dihadapkan pada keadaan yang tidak normal. Pertimbangan akademis dan teknis saja menjadi tidak memadai.  Kita berpacu dengan waktu untuk membayar kompensasi keterlambatan dalam menyerap aspirasi daerah yang tidak pernah dianggap oleh pemerintah ordebaru. Prinsip otonomi daerah adalah prinsip otonomi seluas -luasnya, prinsip otonomi  secara nyata, prinsip otonomi yang tanggungjawab. Agaknya pemberian otonomi yang hakiki harus segera dimanifestasikan. Memang untuk mewujudkan tidak mudah.Utang luar negeri yang menggelembung cenderung membuat pemerintah pusat enggan memberikan keleluasan yang memadai dalam pengaturan kembali sumber – sumber penerimaan Negara. Namun, persoalan ini hendaknya tidak dijadikan argument untuk membuat gerak otonomi dalam ketidakpastian.
            Belakangan ini banyak keracuan dalam menanggapi persoalan munculnya ancaman disintegrasi bangsa. Faktor – faktor otonomi daerah adalah kemampuan manusia yang minim, kemampuan keuangan, kemampuan peralatan dan organisasi, kemampuan kepemimpinan. Agar masalahnya, boleh jadi, di sebabkan oleh cara memahami perubahan mendasar pada lingkungan internal dan eksternal dengan menggunakan paradigma lama. Pola piker yang kaku dan cenderung menyakralkan symbol-simbol tertentu mencerminkan resistensi sementara kalangan terhadap tuntunan perubahan yang merupakan suatu keniscayaan ( hokum  alamatausunnatullah).
            Tatkala tuntunan derah semakin didera  suntuk ”memerdekakan” diri dari belenggu dominasi pemerintah pusat yang sangat  sentralistik, paraelit politik di Jakarta mananggapinya tanpa menawarkan  penyelesaian yang komprehensif dan tuntas, bahkan justru membingungkan sehingga tidak jelasarahnya. Tuntutan rakyat aceh untuk melaksanakan referendum terlepasdari opsi-opsi yang di tawarkansempat di dukung oleh presidenAbdurrohman Wahid tetapi di tolak oleh pemimpin DPR. Sementaraitu, ketua MPR pernah pula menawarkan formula federalism dalam kerangka Negara kesatuan mungkin Cuma suatu tawaran kompromi semata ada pula yang menyodorkan konsep otonomi husus, otonomi seluas-luasnya, ataupun otonomi penuh. Kalangan tertentu lainnya memandang penerapan undang-undang nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan undang-undang nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan hubungan keuangan pusat daerah sudah cukup untuk meredam tuntutanan aspirasi daerah.
            Para pelontar gagasan  tidak menjelaskan secara jernih konsep-konsep yang di tawarkannya, bahkan sekedar mendefinisikan konsep – konsep tersebut sekalipun.Misalnya, sampai sejauh mana atau sampai setetes mana otonomi yang seluas-luasnya itu; apakah yang di maksud dengan federalisme dalam kerangka Negara kesatuanadalahkonsepgado-gadoataupenerapankonsep Negara  bagian untuk beberapa profinsi saja; apakah kekhususaan dari otonomi husus :apakah otonomi penuh berarti pemerintahan sendiri dalam artian pemerintah daerah memiliki hak  dan kekuasaan penuh  dalam menentukan arah dan tindakannya sendiri. Semuanya serba tidak jelas sehingga memicu diskursus yang  lebih bersifat debat kusir.
            Menurut kamus besar bahasa Indonesia yang di maksud dengan otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumahtangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Definisi ini masih bisa di perdebatkan, apakah peraturan perundang-undangan yang berlaku justru membingkai hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah  tangganyasendiri: ataukah justru peraturan perundang-undangan yang harus menyesuaikan diri dengan hakikat dari otonomi itu sendiri. Untuk menghilangkan kerancuhan atau presepsidiatas kiranya   perlu untuk memahami hakikat atau mana filosofis dari preinsip keotonomian.
            Pada tingkat terendah otonomi mengacu pada individu sebagai perwujudan dan  free will yang melekat pada diri manusia sebagai salah satu anugrah paling berharga dari sang pencipta. Free will inilah yang memungkinkan individu-individu menjadi otonom (autonomy of individual) sehingga mereka bisa mengaktualisasikan segala potensi  terbaik yang ada di dalam dirinya secara optimal. Individu-individu  yang otonom inilah yang selanjutnya memmbentuk komunitas yang otonom , dan akhirnya bangsa yang mandiri secara unggul dengan kemampuan untuk mengaktualisasikan keunikannya secara optimal.[1]
2.2 DayaTarikOtonomi Daerah
            Otonomi daerah membuka  kesempatan yang seluas-luasnya bagi daerah untuk  mengaktualisasikan segala potensi terbaiknya secara optimal. Dengan demikian setiap daerah niscaya memiliki satu atau beberapa keunggulan tertentu, relative terhadap daerah – daerah lainnya. Bahkan, dilihat dari segi potensinya keunggulan tersebut bisa bersifat mutlaq  misalnya yang berasal dari aspek lokasi ataupun anugrah sumber. Namun  ini baru kesempatan atau peluang bukan sesuatu yang otomatis terselesaikan
            Beberapa prasyarat di butuhkan untuk menyiapkan daerah – daerah menjadi pelaku bakti di kecah pasar global  :
·         Terjaminnya pergerakan beben dari seluruh faktor produksi, barang , dan jasa di dalam wilayah indonesia, kecuali untuk kasus-kasus yang di landasi oleh argument non ekonomi.
·         Proses politik yang juga menjamin keotonomian masyarakat lokal dalam menentukan dan memperjuangkan aspirasi mereka malalui partisipasi politik dalam proses pengambilan keputusan yang berdampak kepada publik. Dalam kaitan inilah sangat penting untuk meninjau kembali undang-undang nomor 22/1999 dan undang-undang nomor 25/1999 bersama-sama dengan tiga undang-undang politik terbaru secara singultan, untuk betul-betul mengakkan pilar-pilar bagi ketegaknya otonomi mulai dari jenjang terendah hingga tertinggi.
·         Tegaknya good governance baik dari pusat maupun di daerah, sehingga otonomi daerah tidak menciptakan bentuk-bentuk kkn baru.
·         Keterbukaan daerah untuk bekerja sama dengan daerah-daerah lain tetangganya untuk mengoptimalkan pengeolaan sember daya yang lain. Jangan sampai keputusan ekonomi di kendali oleh batas-batas wilayah.
·         Fleksibilitas sistem insentiv
·         Peran pemerintah daerah lebih sebagai regulator yang bertujuan untuk melindungi kelompok minoritas dan lemah serta menjaga harmoni dengan alam sekitar, bukan regulator dalam pengertian serba mengatur.[2]
2.3 Hal-hal Yang Menyebabkan Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Indonesia Menjadi Tidak Optimal
      Penyebab tidak optimalnya pelaksanaan otonomi daerah di indonesia          :
1.      Lemahnya pengawasan maupun check and balances. Kondisi inilah kemudian menimbulkan penyimpangan-penyimpangan dan ketidak seimbangan kekuasaan dalam pelaksanaan otonomi daerah.
2.      Pemahaman terhadap otonomi daerah yang keliru, baik oleh aparat maupun oleh warga masyarakat menyebabkan pelaksanaan otonomi daerah menyimpang dari tujuan mewujudkan masyarakat yang aman, damai dan sejahtera.
3.      Keterbatasan sumber daya di hadapkan dengan tuntutan kebutuhan dana (pembangunan dan rutinoperasional pemerintahan) yang besar, memaksa pemda menempuh pilihan yang membebani rakyat, misalnya memperluas dan atau meningkatkan objek pajak dan retribusi, dan juga menguras sumber daya alam yang tersedia.
4.      Kesempatan seluas luasnya yang di berika kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan mengambil peran, juga sering di salah artikan, seolah-olah merasa di beri kesempatan untuk mengekspolitasi sumber daya alam dengan cara masing-masing semaunya sendiri.
5.      Dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD), yang seharusnya berperan mengontrol dan meluruskan segala kekeliruan implementasi otonomi daerah tidak menggunakan peran dan fungsi yang semestinya, bahkan seringkali mereka ikut terhanyut dan berlomba mengambil untung dari perilaku aparat dan masyarakat yang salah. Semua itu terjadi karena otonomi daerah lebih banyak menampilkan nuansa kepentingan pembangunan fisik dan ekonomi.
6.      Kurangnya pembangunan sumber daya manusia / Sumber Daya Manusia (moral, spiritual,intlektual dan ketrampilan) yang seharusnya di prioritaskan. Sumber daya manusia berkualitas ini merupakan kunci penentu dalam keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah. Sumber daya manusia yang tidak atau belum berkualitas inilah yang menyebabkan penyelenggaraan otonomi daerah tidak berjalan sebagaimana mestinya, penuh dengan intrit, konflik dan penyelewengan serta di warnai oleh menonjolnya kepentingan pribadi dan kelompok.[3]

2.4 Memulihkan Otonomi Daerah Di Indonesia
            Pada waktu mengantar sebuah sarasehan di yogjakarta, 18 agustus 2000 dengan tema “meluruskan perjalanan revormasi menuju kejayaan bangsa”, panitia menyatakan antara lain:
1.      Ekonomi nasional telah hancur
2.      Pengangguran dan kemiskinan rakyat meningkat
3.      Budaya lokal telah hancur
Kami mendapat pesan bahwa kekhawatiran kekhawatiran tersebut cukup menyesatkan tidak saja pada orang awam , tetapi bahkan bagi kalangan intlektual. Memang, jika kita ikuti berita-berita dalam media masa yang bersumber dari para pengamat ekonomi termasuk para anggota MPR/DPR dalam ST-2000, ekonomi nasional kita rupanya di anggap telah “hancur total”, pengangguran merajalela dan kemiskinan rakyat makin luas. Benarkah?
            Bahwa krisis ekonomi telah menyusahkan banyak orang, dan rakyat kecil makin berat kehidupannya menghadapi kenaikan harga-harga umum memang bebar. Tetapi yang menyesatkan adalah menggambarkan ekonomi nasional kita telah benar-benar hancur total, dan kini belum nampak adanya perbaikan sama sekali. Apa ukuran untuk “Hancur total dan belum ada perbaikan dan pemulihan ekonimi nasional?” kami khawatir ukuran untuk ini keliru atau  menyesatkan karena ketidak stabilan politik selalu di jadikan ukuran utama, termasuk di dalamnya pengolakan politik di daerah-daerah baik terhadap pemerintah pusat maupun antara kelompok-kelompok etnik daerah sendiri. Bias politik ini telah jauh merambah analisis paraekonom sehingga pertumbuhan ekonomi positif 3,2% pada kuartal I tahun 2000 atau 4,1% pada kuartal II , di anggap sebagai sekedar pertumbuhan semu karena “hanya bersumber dari peningkatan konsumsi bukan investasi”. Karena pandangan yang bias politik dari para ekonom ini maka teori-teori ekonomi konvensional yang mereka anutpun di pilih hanya bagian-bagian lain yang tidak mendukung kesimpulan-kesimpulan tersebut.
            Presepsi masyarakat tentang kahancuran ekonomi nasional dan belum nampak tanda-tanda pemulihan ini begitu kuat, sehingga makalah kami dalamserasehan tersebut berjudul “analisis ekonomi tanpa visi” , yang isinya meragukan progam rekapitalisasi perbankan sebagai satu-satunya solusi (KR,20 Agustus). Bahkan yang mayolok adalah berita tersebut yang berjudul “untuk pulihkan ekonomi indonesia;solusinya rekapitulasi perbankan”.
            Dalam pada itu sungguh keliru jika para pakar ekonomi bersitegang bahwa yang di maksut ekonomi yang pulih adalah jika investasi sudah kembali normal seperti tingkatnya sebelum krisis yaitu tingkatnya pada tahun 1997. Kekeliruannya adalah menganggap bahwa angka-angka investasi resmi yang berasal kredit perbankan tersebut pasti terwujud dalam investasi produktiv (bukan spekulatif), dan meskipun secara potensial produkif belum tentu sama dengan kebutuhan iil yaitu infestasi yang hasil-hasilnya benar-benar dapat di serap pasar. Kami yakin telah terjadinya kelebihan infestasi(over investment) dalam cabang-cabang produksi tertentu, sehingga justru tidak bijaksana untuk mengarahkan investasi aagar mencapai tingkat investasi yang sama yang pernah di capai pada tahun 1997 tingkat investasi tahun 1997 bisa merupaka tingkat yang semu ,tidak riil , sehingga tidak dapat di jadikan patokan.[4]





BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Otonomi adalah mengembangkan manusia - manusia Indonesia yang otonom, yang memberikan keleluasan bagi terkuaknya potensi – potensi terbaik yang dimiliki oleh setiap individu secara optimal. Individu - individu yang otonom menjadi modal dasar bagi berwujudan otonomi daerah yang hakiki.
Maksut dan tujuan otonomi daerah agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan pemerintah agar pemerintah tidak hanya di jalankan oleh pemerintah pusat. Tapi daerahpun di beri hak mengurus sendiri kebutuhannya, agar kepentingan umum suatu daerah dapat diurus menjadi lebih baik. 
Otonomi daerah membuka kesempatan yang seluas - luasnya bagi daerah untuk mengaktualisasikan segala potensi terbaiknya secara optimal. Dengan demikian setiap daerah niscaya memiliki satu atau beberapa keunggulan tertentu, relati terhadap daerah – daerah  lainnya. Bahkan, dilihat dari segi potensinya keunggulan tersebut bisa bersifat mutlaq misalnya yang berasal dari aspek lokasi ataupun anugrah sumber.












DAFTAR PUSTAKA
·         Faisal Basri,perekonomian Indonesia.2002 .erlangga.
·         http://kotajabung.blogspot.com/2012/09/conto-makalah-otonomi-daerah.html
·         Mubyarto.prospek otonomi daerah dan perekonomian Indonesia.2010.BPFE Yogyakata.



[1]  Faisal Basri,perekonomian Indonesia, 2002 ,erlangga , hlm.174
[2]Faisal Basri,perekonomian Indonesia, 2002 ,erlangga , hlm.178
[3]http://kotajabung.blogspot.com/2012/09/conto-makalah-otonomi-daerah.html
[4]Mubyarto,prospek otonomi daerah dan perekonomian Indonesia,2010,BPFE Yogyakata, hlm.173

No comments:

Post a Comment

Misteri kabut

 Tidak masalah  Tanpa masalah  Non masalah  ???