Sunday 4 June 2017

KTSP dan IMPLEMENTASINYA

KTSP dan IMPLEMENTASINYA

A.      PENDAHULUAN
Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan betakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, akhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) disusun dengan mengacu pada Standar Isi dan (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang telah ditetapkan oleh pemerintah untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Penyusunan KTSP berpedoman pada panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan Pendidikan (BSNP) dan ketentuan lain yang menyangkut kurikulum dalam UU 20/2003 dan PP 19/2005.
Penyusunan KTSP sangat diperlukan untuk mengakomodasi semua potensi yang ada di daerah dan untuk meningkatkan kualitas satuan pendidikan dalam bidang akademis maupun non akademis, memelihara budaya daerah, mengikuti perkembangan iptek yang dilandasi iman dan takwa.

B.       RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang maka permasalahan yang akan di bahas adalahsebagai berikut:
1.      Apapengertian dan karakteristik KTSP?
2.      Apa tujuan KTSP?
3.      Bagaimana implementasi KTSP?
C.    PEMBAHASAN
1.      Pengertian dan Karakteristik KTSP
a.      Pengertian KTSP
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Lebih lanjut lagi bahwa KTSP adalah kurikulum yang merefleksikan pengetahuan, keterampilan dan sikap sehingga dapat meningkatkan potensi siswa secara utuh (Kunandar, 2007: 103).[1]
Pengertian kurikulum menurut Mulyasa (2006: 20) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Penyusunan KTSP ini dengan memperhatikan dan berdasarkan Standar Kompetensi serta Kompetensi Dasar yang dikembangkan oleh Badan Nasional Pendidikan (BSNP).[2]
Sedangkan Muslich (2008: 17) menyatakan bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan penyempurnaan dari kurikulum 2004 (KBK) adalah Kurikulum Operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing Satuan Pendidikan.[3]
Secara operasional, kurikulum yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP meliputi tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan dan silabus. Silabus merupakan rencana pembelajaran pada suatu dan atau kelompok mata pelajaran dengan tema tertentu yang mencakup standar kompetensi dasar, materi pokok pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber atau alat belajar. (Khaerudin dan Mahmud Junaedi, 2007: 76).[4]
Jadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan, Adapun penyusunannya dengan memperhatikan dan berdasarkan Standar Kompetensi serta Kompetensi Dasar yang dikembangkan oleh Badan Nasional Pendidikan (BSNP). KTSP meliputi tujuan pendidikantingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan dan silabus.
KTSP adalah kurikulum yang merefleksikan pengetahuan, keterampilan dan sikap sehingga dapat meningkatkan potensi siswa secara utuh. Oleh karena itu dalam KTSP mencakup sejumlah kompetensi, dan seperangkat tujuan pembelajaran yang dinyatakan sedemikian rupa, sehingga pencapaiannya dapat diamati dalam bentuk perilaku atau ketrampilan peserta didik menguasai sekurang-kurangnya tingkat kompetensi minimal, agar mereka dapat mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Sesuai dengan konsep belajar tuntas dan pengembangan bakat, setiap peserta didik harus diberi kesempatan untuk mencapai tujuan sesuai kemampuan dan kecepatan belajar masing-masing.[5]
b.      Karakteristik KTSP
1)        Dilihat dari desainnya, KTSP adalah kurikulum yang berorientasi pada disiplin ilmu. Hal ini dapat dilihat dari pertama, struktur program KTSP yang memuat sejumlah mata pelajaran yang harus di tempuh oleh peserta didik. Setiap mata pelajaran yang harus di pelajari itu selain sesuai dengan nama-nama disiplin ilmu juga di tentukan jumlah jam pelajaran secara ketat. Kedua, kriteria keberhasilan KTSP lebih banyak diukur dari kemampuan siswa menguasai materi pelajaran. Hal ini dapat dilihat dari sistem kelulusan yang ditentukan oleh standar minimal penguasaan isi pelajaran seperti yang diukur dari Ujian Nasional.
2)        KTSP adalah kurikulum yang berorientasi pada pengembangan individu. Halini dapat dilihat dari prinsip-prinsip pembelajaran dari KTSP yang menekankan pada aktivitas siswa untuk mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran melalui pendekatan dan strategi pembelajaran yang disarankan misalnya melalui CTL, inkuiri, pembelajaran portofolio, dan lain sebagainya.
3)        KTSP adalah kurikulum yang mengakses kepentingan daerah. Hal ini tampak pada salah satu prinsip KTSP, yakni berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Dengan demikian, maka KTSP adalah kurikulum yang dikembangkan oleh daerah. Bahkan, dengan program muatan lokalnya, KTSP didasarkan pada keberagaman kondisi, sosial,budaya yang berbeda masing-masing daerahnya.
4)        KTSP merupakan kurikulum teknologis.Hal ini dapat dilihat dari adanya standar kompetensi, kompetensi dasar yang kemudian dijabarkan pada indikator hasil belajar, yakni sejumlah perilaku yang terukur sebagi bahan penilaian.[6]
Selain beberapa karakteristik diatas, sebagai sebuah konsep dan program, KTSP memiliki karakteristik sebagai berikut:
a)      KTSP menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal. Dalam KTSP peserta didik dibentuk untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap, dan minat yang pada akhirnya akan membentuk pribadi yang terampil dan mandiri;
b)      KTSP berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman;
c)      Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi;
d)      Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif;
e)      Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi (Kunandar 2007, hlm. 138)[7]
2.       Tujuan KTSP
Secara umum tujuan diterapkannya KTSP adalah untuk memandirikan dan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada lembaga pendidikan dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam pengembangan kurikulum.
Secara khusus tujuan diterapkannya KTSP adalah untuk:
a.    Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengembangkan kurikulum, mengelola dan memberdayakan sumberdaya yang tersedia.
b.    Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam pengembangan kurikulum melalui keputusan bersama.
c.    Meningkatkan kompetensi yang sehat antar satuan pendidikan tentang kualitas pendidikan yang akan dicapai.[8]
3.       Implementasi KTSP
Implementasi kurikulum pada dasarnya merupakan suatu proses penerapan konsep, ide, program, atau tatanan kurikulum ke dalam praktik pembelajaran.[9]
Dalam mengimplementasikan KTSP di sekolah (kepala sekolah dan guru) diberikan otonomi yang lebih besar dalam pengembangan kurikulum dengan tetap memperhatikan karakteristik KTSP, karena masing-masing sekolah dipandang lebih tahu tentang kondisi satuan pendidikannya.Keberhasilan atau kegagalan implementasi kurikulum di sekolah sangat bergantung pada kepala sekolah dan guru, karena dua figur tersebut merupakan kunci yang menentukan dan menggerakkan berbagai komponen di lingkungan sekolah. Setiap sekolah dapat mengelola dan mengembangkan berbagai potensinya secara optimal dalam kaitannya dengan implementasi KTSP.
Dalam UU No 14 tahun 2005, telah dinyatakan bahwa seorang guru diharuskan memiliki tiga kompetensi utama yaitu kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional.[10]
Sedangkan dalam PP No 19 tahun 2005 kompetensi yang harus dimiliki oleh guru terdiri atas terdiri atas kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial, dengan dimilikinya kompetensi ini oleh guru berarti kemampuan yang seharsunya ada dan dibutuhkan oleh guru saat ini dalam implementasi KTSP menjadi sesuatu yang tidak dapat ditawar lagi.[11]
Implementasi KTSP bermuara pada pelaksanaan pembelajaran, yakni bagaimana agar isi atau pesan-pesan kurikulum (standar kompetensi dan kompetensi dasar) dapat diterima oleh peserta didik secara tepat dan optimal. Pada umumnya pelaksanaan pembelajaran mencakup tiga kegiatan, yaitu pembukaan, pembentukan kompetensi, dan penutup. Kegiatan pembukaan adalah kegiatan awal yang harus dilakukan guru untuk memulai atau membuka pembelajaran. Membuka pembelajaran merupakan suatu kegiatan untuk menciptakan kesiapan mental dan menarik perhatian peserta didik secara optimal agar memusatkan diri sepenuhnya untuk belajar.
Kegiatan inti dalam proses pembelajaran merupakan tahapan kegiatan pembelajaran yang paling utama untuk pembentukan kompetensi peserta didik selama berlangsungnya proses belajar mengajar di kelas. Pembentukan kompetensi peserta didik merupakan kegiatan inti pembelajaran, antara lain mencakup penyampaian informasi tentang materi pokok dan membahas materi pokok untuk membentuk kompetensi peserta didik. Pembentukan kompetensi peserta didik perlu dilakukan dengan tenang dan menyenangkan. Hal tersebut tentu saja menuntut aktivitas dan kreativitas guru dalam menciptakan lingkungan yang kondusif. Kegiatan penutup adalah kegiatan mengakhiri materi pembelajaran. Kegiatan menutup pembelajaran perlu dilakukan secara profesional agar mendapatkan hasil yang memuaskan dan menimbulkan kesan yang menyenangkan (Mulyasa 2008, hlm. 180-187).[12]
Uraian di atas memberikan pemahaman bahwa kurikulum dalam dimensi kegiatan adalah sebagai manifestasi dari upaya untuk mewujudkan kurikulum yang masih bersifat tertulis menjadi aktual dalam bentuk serangkaian kegiatan pembelajaran di sekolah. Implementasi KTSP memberikan pemahaman tentang situasi dan kondisi sekolah, sasaran implementasi yang efektif dan efisien, serta harapan sekolah terhadap kurikulum yang diimplementasikan.






D.    KESIMPULAN
1.    Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan, Adapun penyusunannya dengan memperhatikan dan berdasarkan Standar Kompetensi serta Kompetensi Dasar yang dikembangkan oleh Badan Nasional Pendidikan (BSNP). KTSP meliputi tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan dan silabus.
2.    Karakteristik KTSP antara lain:
·      Dilihat dari desainnya, KTSP adalah kurikulum yang berorientasi pada disiplin ilmu.
·      KTSP merupakan kurikulum teknologis
·      KTSP adalah kurikulum yang mengakses kepentingan daerah
·      KTSP adalah kurikulum yang berorientasi pada pengembangan individu.
3.    Secara umum tujuan diterapkannya KTSP adalah untuk memandirikan dan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada lembaga pendidikan dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam pengembangan kurikulum.
4.    Dalam mengimplementasikan KTSP di sekolah (kepala sekolah dan guru) diberikan otonomi yang lebih besar dalam pengembangan kurikulum dengan tetap memperhatikan karakteristik KTSP, karena masing-masing sekolah dipandang lebih tahu tentang kondisi satuan pendidikannya.









DAFTAR ISI
https://rinofeunp.files.wordpress.com/2010/08/strategi-implementasi-ktsp.pdf
Joko Susilo,Muhammad,Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka        Pelajar, 2007.
Joko Susilo,Muhammad,Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Manajemen Pelaksanaan  dan Kesiapan Sekolah Menyongsongnya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Khaerudin dan Mahmud Junaedi, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Yogyakarta:       Nuansa Aksara, 2007.
Kunandar, Guru Profesional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)            dan Sukses dalam Sertifikasi Guru, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Mulyasa, Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan; Kemandirian Guru dan      Kepala Sekolah. Bumi Aksara: Jakarta, 2008.
Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan,Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007.
Mulyasa, Kurikulum yang Disempurnakan: Pengembangan Standar Kompetensi dan         Kompetensi Dasar. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.
Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual, Jakarta: Bumi Aksara,          2008.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional          Pendidikan, Jakarta.
Sanjaya,Wina,Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Kencana, 2008.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Jakarta.




[1] Kunandar, Guru Profesional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), 103.
[2] Mulyasa,Kurikulum yang Disempurnakan: Pengembangan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 20.
[3] Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 17.
[4]Khaerudin dan Mahmud Junaedi, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, (Yogyakarta: Nuansa Aksara, 2007), 76.

[5]Muhammad Joko Susilo, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 100.
[6]Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2008), 130-131.
[7]Kunandar, Guru Profesional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), 138.
[8]Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), 22.
[9] Muhammad Joko Susilo,Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Manajemen Pelaksanaan dan Kesiapan Sekolah Menyongsongnya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 174.
[10]Undang Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen...............2.
[11]Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan...............1.

[12]Mulyasa, Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan; Kemandirian Guru dan Kepala Sekolah. (Bumi Aksara: Jakarta, 2008), 180-187.

KEKERASAN DALAM DUNIA PENDIDIKAN

KEKERASAN DALAM DUNIA PENDIDIKAN
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tindakan kekerasan sangat akrab dengan kehidupan sehari-hari yang terjadi dalam ruang lingkup masyarakat, keluarga maupun sekolah. Dalam menyelesaikan suatu konflik atau permasalahan selalu disertai dengan tindakan kekerasan. Secara umum, tindakan kekerasan dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang dapat merugikan orang lain, baik secara fisik maupun secara psikis. Kekerasan tidak hanya berbentuk eksploitasi fisik semata, tetapi juga berbentuk eksploitasi psikis. Dan justru kekerasan psikislah yang perlu diwaspadai karena akan menimbulkan efek traumatis yang cukup lama bagi si korban.
Dewasa ini, sering terjadi kekerasan dalam dunia pendidikan yang sudah menjadi sorotan masyarakat. Berbagai bentuk kekerasan, mulai dari kekerasan verbal seperti membentak siswa sampai dengan kekerasan fisik yakni menampar sampai memukul siswa telah menjadi fenomena di dunia pendidikan negeri ini. Kondisi tersebut sudah berlangsung lama, bahkan frekuensinya meningkat seiring dengan meningkatknya agresifitas siswa didik di lingkungan sekolah. Tindakan kekerasan dalam dunia pendidikan sering dikenal dengan istilah Bullying.
Tindakan kekerasan dalam pendidikan ini dapat dilakukan oleh siapa saja, misalnya teman sekelas, kakak kelas dengan adik kelas, guru dengan muridnya dan pemimpin sekolah dengan staffnya. Tindakan kekerasan tersebut sama sekali tidak bisa dibenarkan meskipun terdapat beberapa alasan tertentu yang melatarabelakanginya.
Tindakan kekerasan juga bisa terjadi dalam bentuk aksi demonstrasi mahasiswa, baik dalam bentuk fisik maupun dalam bentuk lisan. Misalnya, mencaci maki, berkata kasar dan kotor, serta tawuran yang terjadi antar mahasiswa.
B.      RUMUSAN MASALAH
1.      Bagamaina pengertian kekerasan ?
2.      Apa saja jenis – jenis kekerasan dalam pendidikan?
3.      Bagaimana solusi mengatasi kekerasan dalam dunia pendidikan?






II. PEMBAHASAN
1.      Pengertian kekerasan
Kekerasan adalah kata yang biasa diterjemahkan dari violence, yang dalam bahasa latin disebut violentia. Violence erat berkaitan dengan gabungan kata latin “vis”(daya, kekuatan) dan “latus” yang berasal dari ferre ( membawa ) yangkemudian berartimembawa kekuatan.[1]
 R. audi merumuskan “violence” sebagai serangan atau penyalahgunaan fisik  terhadap seseorang atau binatang, atau serangan, penghancuran, perusakan yang sangatkeras, kasar, kejam dan ganas atas milik atau sesuatu yang secara potensial dapat menjadimilik seseorang.
                         Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kekerasan adalah perihal atau sifat keras,paksaan perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera ataumatinya orang lain.[2]
 Menurut WHO (1999), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dankekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkanmemar / trauma atau perampasan hak.[3]
 Menurut Blask (1951) kekerasan, violence, adalah pemakaian kekuatan, force, yang tidak adil, dan tidak dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau kemarahan yang tak terkendali, tiba-tiba, bertenaga, kasar, dan menghina. Kekuatan itu, biasanya kekuatan fisik, disalahgunakan terhadap hak-hak umum, terhadap aturan hukum dan kebebasan umum, sehingga bertentangan dengan hukum. Menurut Webster, kekerasan adalah  rough or injurious physical force, action, or treatment, or an unjust or unwarranted exertion of force or power, as against rights, laws, etc. (Webster). Menurut UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 tahun 2004, pasal 1 ayat (1), kekerasan adalah perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkungan rumah tangga.
 Menurut KUHP, pasal 89,  melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil atau sekuat mungkin, secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang, dan sebagainya, sehingga orang yang terkena tindakan itu merasa sakit yang sangat. Melakukan kekerasan dapat disamakan dengan “membuat orang jadi pingsan dan tidak berdaya”. Pingsan artinya hilang ingatan, tidak ingat, atau tidak sadar akan dirinya, umpamanya karena minum racun kecubung atau obat-obat lain yang menyebabkan seseorang tidak ingat lagi. Orang yang pingsan  itu tidak dapat mengetahui apa yang terjadi atas dirinya. Tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak mampu melakukan perlawanan sedikit pun, misalnya seseorang yang kaki dan tangannya diikat dengan tali, dikurung
dalam kamar, lalu disuntik, sehingga orang itu menjadi lumpuh. Orang yang tidak berdaya itu masih dapat mengetahui apa yang terjadi atas dirinya.
The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) merumuskan kekerasan sebagai perbuatan yang merugikan secara sengaja, injury inflicted by deliberate means, termasuk juga serangan tiba-tiba, assault, dan intervensi legal, dan mencederai diri sediri, self-harm
Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Menurut WHO (dalam Bagong. S, dkk, 2000), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. 
Kekerasan dalam pendidikan tampak dalam hukuman fisik sebagai alat pilihan pendidik yang sudah tidak memiliki cara lain yang lebih baik lagi, yang kehabisan akal, atau yang biasa berlaku kasar. Hukuman fisik tidak dikuliahkan, tidak membutuhkan pemikiran, latihan, atau pengertian terhadap peserta didik, cukup dengan wewenang yang ada padanya. Kekerasan di sekolah merujuk pada kekerasan, violence, dan kejahatan, crime, oleh pendidik, peserta didik, kepala sekolah, administrasi, orangtua.



2. Jenis - jenis Kekerasan dalam Dunia Pendidikan
Kekerasan dalam pendidikan tidak semata hanya dilakukan oleh guru kepada siswanya. Tetapi ada juga dari siswa atau orang tua kepada gurunya, masyarakat kepada sekolah, kepala sekolah kepada guru, dan antara siswa sendiri.
Dari definisi di atas, dapat ditarik beberapa indikator kekerasan:
a. Kekerasan terbuka (overt) yakni kekerasan yang dapat dilihat atau diamati secara langsung; seperti perkelahian, tawuran, bentrokan massa, atau yang berkaitan dengan fisik. Sebagai contoh adalah Seorang remaja bernama Rizal (17) tewas terkena tembakan senapan angin saat sekelompok orang tidak dikenal datang menyerang rumahnya, di Jalan Bontoduri 10, Kota Makassar.
Akibat serangan itu, sejumlah kaca jendela rumah hancur berantakan terkena lemparan batu. Sementara korban yang saat itu keluar untuk menanyakan apa yang terjadi, ditembak menggunakan senapan angin pada dada sebelah kanannya.[4]
b. Kekerasan tertutup (covert) yakni kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan secara langsung; seperti mengancam, intimidasi, atau simbol-simbol lain yang menyebabkan pihak-pihak tertentu merasa takut atau tertekan. Ancaman dianggap sebagai bentuk kekerasan¸ sebab orang hanya mempercayai kebenaran ancaman dan kemampuan pengancam mewujudkan ancamannya. Misalnya, Sastrawan terkenal berinisial SS (45) dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia berinsial RW (22). SS dituding tidak bertanggungjawab dan diduga melakukan intimidasi terhadap RW hingga hamil 7 bulan.[5]
c. Kekerasan agresif (offensive) yakni kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu seperti perampasan, pencurian, pemerkosaan atau bahkan pembunuhan. Indikator kekerasan ini sudah masuk prilaku kriminal, di mana pelakunya dapat dikenakan sanksi menurut hukum tertentu. Contohnya Menteri Sosial (Mensos) Khofifah Indar Parawansa mengungkapkan, pelaku pemerkosaan dan pembunuhan Yuyun (14), siswi SMP di daerah itu, akibat pengaruh video porno."Tadi saya tanyakan kepada para terdakwa kenapa tindakan itu sampai mereka lakukan. Mereka jawab karena sering menonton video porno serta di bawah pengaruh minuman keras oplosan," kata Khofifah usai menemui para terdakwa dan tersangka pelaku tersebut di Mapolres Rejanglebong, Provinsi Bengkulu, Jumat (6/5).[6]
d.  Kekerasan defensif (defensive) yakni kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan, seperti barikade aparat untuk menahan aksi demo dan lainnya, sengketa tanah antara warga dengan pihak dari sebuah sekolah, dan lain sebagainya.
3. Solusi Mengatasi Kekerasan dalam Dunia Pendidikan
Sekecil apapun dampak yang timbul terhadap praktek kekerasan dalam dunia pendidikan, tetap saja hal itu adalah suatu kesalahan. Sekolah sepatutnya tempat bagi siswa untuk berkembang. Namun, di saat kekerasan terjadi di sekolah, sekolah justru mematikan perkembangan psikologi siswa.
Ada 7 hal yang harus dipahami dan kemudian diterapkan oleh pendidik untuk memperoleh kepercayaan anak didik agar mencapai maksud dari pendidikan itu, tanpa harus menggunakan kekerasan.
1)                  Tindakan Alternatif
Cara pendidikan tanpa kekerasan digambarkan sebagai sebuah cara ketiga atau alternatif ketiga, setelah tindakan menyalahkan dan aksi kekerasan karena hal itu. Seorang pendidik yang melihat kesalahan seorang siswa, mempunyai tiga pilihan setelah itu, apakah dia akan menyalahkannya, menggunakan kekerasan untuk memaksa siswa memperbaiki kesalahan itu atau menggunakan cara ketiga yang tanpa kekerasan.
Menahan diri untuk tidak menyalahkan tentu bukan perkara mudah bagi orang dewasa apabila melihat sebuah kesalahan dilakukan oleh anak di depan matanya. Tapi perlu diingat bahwa sebuah tudingan bagaimanapun akan berbuah balasan dari anak, karena secara insting dia akan mempertahankan dirinya. Reaksi atas sikap anak yang membela diri inilah yang ditakutkan akan berbuah kekerasan dari pendidik terhadap anak didik.
2)                  Keakraban Penuh Keterbukaan
Keakraban maksudnya berbagi dengan orang lain dengan tidak membeda-bedakan anak-anak didik, dan terbuka adalah tidak menutup-nutupi hal apa pun atau mencoba mengambil keuntungan dari hal-hal yang tidak diketahui siswa. Sebuah keakraban yang penuh keterbukaan hanya bisa terjalin apabila adalah rasa persaudaraan kemanusiaan antara pihak pendidik dan siswa.
Di dalam keakraban ada kasih sayang, keramahan, sopan-santun, saling menghargai dan menghormati. Sedang keterbukaan mengandung unsur kejujuran, kerelaan dan menerima apa adanya.
Keakraban yang terbuka ini ibarat pintu bagi masuknya sebuah kepercayaan. Ketika anak didik sudah merasakan keakraban yang terbuka dari gurunya, maka dia dengan senang akan mendengarkan apa pun yang disampaikan oleh sang guru.
3)                  Komunikasi yang Jujur
Penipuan adalah sesuatu yang sulit dipisahkan dari kekerasan, disebabkan kurangnya rasa hormat kepada orang lain atau takut terhadap kenyataan.  Tindakan dengan kasih sayang didasarkan pada ukurannya dalam kebenarannya setiap orang, yang tidak bisa memisahkan dirinya dari kebenaran dan kenyataan.
Jadi, untuk menjadi benar kepada diri sendiri, kita juga harus benar terhadap orang lain.  Sampaikan kepada anak didik kebenarannya; arahkan kemarahan kita terhadap kesalahannya, bukan kepada orangnya. Temukan solusi dalam konflik dan kesalahpahaman, dan itu tidak bisa dibangun apabila kita menggunakan kebohongan dan penipuan.
4)                  Hormati Kebebasan dan Persamaan
Di dalam pendidikan tanpa kekerasan ini, kita semuanya bebas dan setara, setiap orang mendengarkan suara nurani sendiri dan saling berbagi perhatian.  Lalu kemudian dengan bebas diputuskan, berdasarkan pada semua pertimbangan individu-individu, bagaimana keinginan bersama ingin diwujudkan.  Dengan demikian kita harus mengenali dengan jelas kebebasan memilih dan hak yang sama setiap orang untuk mengambil bagian dalam kegiatan itu.
Yang lebih penting lagi adalah kita menyadari persamaan semua manusia dan menghormati kebebasan anak didik sama seperti kita menghendaki kebebasan kita sendiri dihormati.  Tindakan tanpa kekerasan bukanlah bentuk usaha untuk mengendalikan yang lain atau penggunaan paksaan terhadap mereka.  Jika kita mencintai anak didik, kita menghormati otonomi mereka untuk membuat keputusan-keputusan mereka sendiri. Kita pasti dapat berkomunikasi dengan mereka, dan kita bahkan dapat menghadapi mereka dengan kehadiran kita untuk memaksa mereka tanpa kekerasan untuk membuat sebuah pilihan, jika kita yakin mereka telah melakukan kesalahan.  Perbedaan yang penting adalah kita tidak memaksa mereka secara fisik atau dengan kasar untuk mencapai apa yang kita inginkan.
5)                  Rasa Kasih yang Berani
Bertentangan dengan kepercayaan umum, pendidikan tanpa kekerasan bukan sebuah metoda pasif dan lemah, dan itu pasti bukan untuk para penakut. Tindakan tanpa kekerasan lebih banyak membutuhkan keberanian dibanding perkelahian dengan kekerasan seperti dalam peperangan, meski tampaknya itu semacam keberanian.  Karena jika kita melihat lebih jauh penggunaan senjata merupakan kompensasi dari rasa takut terhadap lawan. Dan tindakan kekerasan merupakan bukti adanya perasaan takut lawan lebih dulu melakukannya terhadap kita. Jadi melakukan tindakan tanpa kekerasan menunjukkan ketinggian martabat yang penuh keberanian.
Rasa kasihan adalah anugerah kepada hati kita.  Rasa kasihan bisa digambarkan sebagai kasih yang tidak hanya berempati terhadap orang lain di dalam merasakan apa yang mereka alami, tetapi juga mempunyai keberanian dan kebijaksanaan untuk melakukan sesuatu terhadap hal itu.  Di dalam rasa kasihan, kita tidak melampiaskan kemarahan dan rasa benci kepada anak didik yang melakukan kesalahan, namun dengan kemurahan hati dan kepedulian, kita memperbaikinya.  Rasa kasihan datang dari rasa kesatuan dengan orang lain, memperluas hati kita sehingga kita bisa merasakan empati atas penderitaan orang lain dan menolong mereka.
6)                  Saling Mempercayai Secara Penuh
Cara dengan kasih sayang didasarkan pada keyakinan bahwa jika kita bertindak dengan cara yang baik tidak akan pernah merugikan bagi siapapun, dan akan menghasilkan kebaikan juga.  Alih-alih mengendalikan anak didik dengan ancaman dan kekuasaan kita, lebih baik menggunakan kecerdasan masing-masing pihak untuk memecahkan masalah dengan komunikasi yang baik dan negosiasi.
Untuk mempercayai anak didik secara penuh kita harus melepaskan kepercayaan itu dari kendali kita sendiri, dan membiarkan situasi memprosesnya.  Tentu saja melepaskan kepercayaan tidak berarti kita mempercayai dengan membabi buta.  Kita harus tetap memonitor apa yang terjadi dan memantau hasilnya secara terus menerus.
7)                  Ketekunan dan Kesabaran
Dalam pendidikan tanpa kekerasan, kesabaran adalah kebaikan yang bersifat revolusioner.  Kesabaran bukanlah sebuah pembiaran tanpa tindakan apa pun, tetapi peningkatan kualitas dari sebuah pertolongan yang bertahan pada tuntutannya, dan melanjutkannya dengan cara cerdas penuh ketenangan.  Ketika kita terperangkap dalam situasi konflik, emosi kita sering sangat aktif dan bergolak.  Kita harus hati-hati dengan reaksi tanpa pemikiran atas apa yang sedang kita lakukan dan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin terjadi.  Kesabaran memberikan kepada kita waktu untuk berpikir tentang tindakan-tindakan kita agar terhindar dari kekerasan dan bertindak efektif.  Lebih baik menunggu dan kehilangan sebuah peluang kecil dibandingkan terburu-buru namun menemui sesuatu yang bodoh dan tidak dipersiapkan.  Peluang baru pasti akan muncul kemudian, jika kita berusaha memecahkan persoalan, karena di lain waktu kita akan siap untuk bertindak dengan cara yang baik.
Tidak seperti cara militer yang cepat dan kasar, pendidikan tanpa kekerasan bersifat melambat dan dimulai dengan peringatan-peringatan untuk memberikan kesempatan kepada anak didik secara sadar berpikir bagaimana seharusnya.  Kita tidak menghendaki anak didik bereaksi dengan cepat secara insting.  Kita menghendaki anak didik mengetahui metoda-metoda kita sehingga mereka dapat menanggapi sama tenang dan cerdasnya.
Ketekunan juga berarti kita harus fleksibel di dalam strategi dan taktik kita.  Jika metodanya tidak berhasil, kita perlu mencoba cara lain.  Jika jalannya mendapatkan halangan, kita dapat beralih ke hal lain yang juga memerlukan perhatian.  Jika anak didik seperti kehilangan minatnya, kita dapat dengan kreatif mencoba pendekatan baru terhadap permasalahan.
Pendidikan tanpa kekerasan harus dipenuhi kesabaran dan memaafkan dan di saat yang sama gigih dalam membantu.  Ketika anak didik mengakui bahwa mereka sudah melakukan kesalahan, kita harus menunjukkan sifat pemaaf kepada mereka.  Sasaran terakhir dari pendidikan tanpa kekerasan bukanlah kemenangan atas anak-anak didik kita tetapi menemukan sebuah kehidupan yang harmonis antara pendidik sebagai orang tua, bersama-sama dengan anak didik dalam damai dan keadilan.[7]

III. PENUTUPAN
A.       Kesimpulan
1.    kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. 
 pendidikan tampak dalam hukuman fisik sebagai alat pilihan pendidik yang sudah tidak memiliki cara lain yang lebih baik lagi, yang kehabisan akal, atau yang biasa berlaku kasar. Hukuman fisik tidak dikuliahkan, tidak membutuhkan pemikiran, latihan, atau pengertian terhadap peserta didik, cukup dengan wewenang yang ada.
2.    Jenis jenis kekerasan:
a.         Kekerasan terbuka (overt) yakni kekerasan yang dapat dilihat atau diamati secara langsung;
b.       Kekerasan tertutup (covert) yakni kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan secara langsung.
c.         Kekerasan agresif (offensive) yakni kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu seperti perampasan, pencurian, pemerkosaan atau bahkan pembunuhan.).
d.        Kekerasan defensif (defensive) yakni kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan, seperti barikade aparat untuk menahan aksi demo dan lainnya, sengketa tanah antara warga dengan pihak dari sebuah sekolah, dan lain sebagainya.
3.    Solusi dalam mengatasi kekerasan:Alternatif,Keakraban Penuh Keterbukaan
Komunikasi yang Jujur,Hormati Kebebasan dan Persamaan,Rasa Kasih yang Berani,Saling Mempercayai Secara Penuh,Ketekunan dan Kesabaran



DAFTAR PUSTAKA

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Jakarta : Balai Pustaka, 1988.
Galtung Johan, Kekuasaan dan kekerasan menurut Johan Galtung, ( Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1992,cet .
Miftah, Zainul. 2011. Implementasi Pendidikan Karakter Melalui Bimbingan & Konseling. Surabaya: Gena Pratama Pustaka.
Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, Pemetaan permasalahan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)melalui kerangka alur kerja analisis gender dan anak sebagai data pembuka : laporan penelitian, Pemprop DKIJakarta dengan Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran, Jakarta : 2004.
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/05/06/o6r8pq299-mensos-kasus-pemerkosaan-yuyun-dipengaruhi-video-porno



[1] Johan Galtung, Kekuasaan dan kekerasan menurut Johan Galtung, ( Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1992, 62.
[2] Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ( Jakarta : Balai Pustaka, 1988. h. 758.
[3] Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, Pemetaan permasalahan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)melalui   kerangka alur kerja analisis gender dan anak sebagai data pembuka : laporan penelitian, Pemprop DKIJakarta dengan Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran, ( Jakarta : 2004), h. 21

[4]http://daerah.sindonews.com/read/1103860/192/penembakan-remaja-picu-bentrok-warga-di-makassar-1461575590
[6]http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/05/06/o6r8pq299-mensos-kasus-pemerkosaan-yuyun-dipengaruhi-video-porno
[7]Miftah, Zainul. 2011. Implementasi Pendidikan Karakter Melalui Bimbingan & Konseling. Surabaya: Gena Pratama Pustaka.

Misteri kabut

 Tidak masalah  Tanpa masalah  Non masalah  ???