Friday 20 November 2015

AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER DALIL HUKUM SYARA’, DALIL QATH’I, DAN DZANNI, DALIL KULLI DAN JUZ’I



AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER DALIL HUKUM SYARA’, DALIL QATH’I, DAN DZANNI,
DALIL KULLI DAN JUZ’I

Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas mata kulyah Ushul Fiqih
Dosen pengampu : Mahdaniyal . H.N., M.S.I




Disusun oleh :

1. Ah. Birrul Walidain                            ( 113019 )
2. M. Kholil Ma'sum                              ( 113063 )
 
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PATI (STAIP)
PROGRAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
JURUSAN TARBIYYAH
TAHUN 2015

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan nama kitab suci Allah Swt. Yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dengan perantaraan malaikat Jibril. Dalam kajian ushul fiqih, Al-Qur’an juga disebut beberapa nama seperti : Al-Qur’an adalah kalam Allah berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dengan perantaraan malaikat Jibril serta diriwayatkan secara mutawatir dan tertulis dalam mushaf.
Pembahasan Qathi dan Dzanni, Kully dan Juz’i hanya dapat ditemukan di kalangan ahli ushul fiqh ketika mereka menganalisis kebenaran sumber suatu dalil serta kandungan makna dalil itu sendiri. Dalam kitab-kitab Ushul fiqh, telah disepakati para ulama ushul, bahwa Qath’i adalah yang secara tegas telah ditentukan oleh nash. Dalam pengertian yang lebih sesuai, Qath’i dalam hukum Islam adalah sesuatu yang bersifat pasti, tidak berubah-ubah dan karena itu bersifat fundamental, yakni nilai kemaslahatan atau keadilan. Sementara Dzanni secara harfiyah berarti persangkaan atau hipotesis yang merupakan kebalikan dari yang Qath’i (kategori). Yakni ajaran atau petunjuk agama baik dari al-Qur'an maupun Hadits Nabi yang bersifat jabaran (implementatif) dari prinsip-prinsip yang universal. Dalil kully adalah dalil yang mempunyai sifat keseluruhan dan tidak menunjukkan kepada sesuatu persoalan tertentu dari perbuatan mukalaf [1].

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana definisi dalil Qath’i.
2.      Bagaimana definisi dalil Dzanni.
3.      Bagaimana definisi dalil Qully.
4.      Bagaimana definisi dalil Juz’i.
BAB 1I
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Dalil Qath’i
Qath’I menurut bahasa mempunyai arti putus, pasti atau diam. Sedangkan menurut istilah adalah dalil yang jelas dan terbentuk hanya memiliki satu makna dan tidak membuka penafsiran yang lain.[2]
Nash-nash Al-Qur’an, seluruhnya bersifat qoth’i dari segi kehadiranya dan ketetapanya , dan periwayatanya dari Rosulullah.[3]
Menurut Abdul Wahab Khallaf Qath’I adalah sesuatu yang menunjukan kepada makna tertentu yang harus dipahami dari teks (ayat atau hadist). Qath’I dan Zhonnimerupakan salah satu bahasan yang cukup rumit dikalangan ahli ushul fiqh ketika mereka berhadapan dengan kekuatan suatu hukum (hujjah suatu dalil) atau sumber suatu dalil.
Dalam dalil Qath’I ada ketentuan-ketentuan dalam al-Qur’an mengenai rukun-rukun agama seperti shalat dan puasa, bagian-bagian tertentu dalam kewarisan dan hukum-hukum  yang telah ditetapkan semuanya yang tidak mungkin dibantah oleh siapapun, setiap orang wajib mengikutinya dan ketentuan-ketentuan ini tidak membuka peluang bagi ijtihad.
Nash-nash yang qoth’i adalah nash-nash yang menunjukkan kepada suatu arti yang pemahamannya tertentu , tidak mungkin ditakwilkan dan tidak mungkin diphahamkan lain.seperti ayat dibawah ini :
            Tentang warisan

Artinya :Dan bagimu (suami-suami) seper dua dari harta yang ditiggalkan oleh istri-istrimu jika mereka tidak mempunyai anak (an-Nisa')
Ayat ini qoth’i dalalahnya karena dengan tegas hak suami yang ditinggalkan oleh mati istrinya  yang tidak punya anak, artinya bahwa bagian suami dalam keadaan seperti ini adalah seperdua, tidak yang lain.
Tentang hukuman had zina

Artinya : Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan  kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari Kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang yang beriman. (an-Nur : 2)
Ayat-ayat yang  menyangkut hal-hal tersebut,  maknanya jelas dan tegas dan menujukkan arti dan maksud tertentu dan dalam memahaminya tidak memerlukan ijtihad.
Tentang hukuman menuduh berzina
 
Artinya “Dan orang-orang  yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”
Bahwa seorang yang menuduh wanita baik-baik berbuat zina, sedangkan ia   tidak memiliki 4 orang saksi maka ia didera sebanayak 80 kali deraan sebagai hukuman telah menuduh. Kata “delapan puluh” merupakan kata yang sudah jelas dan tidak mungkin kata tersebut dita’wil menjadi kalimat lain.

B.     Pengertian Dalil Dzanni
Secara bahasa yang dimaksud dengan Dzanni adalah perkiraan, sangkaan (antara benar dan salah). Adapun Dzanni menurut kesepakatan ulama adalah dalil (ayat atau hadis) yang menunjuk kepada suatu makna yang mengandung pengertian lain.
Dalil dzanni adalah suatu dalil yang asal-usul historisnya (al-wurud), penunjukkan kepada maknanya (ad-dalalah), atau kekuatan argumentatif maknanya itu sendiri (al-hujjiyah) diduga kuat sebagai benar, seperti keputusan hakim yang didasarkan atas keterangan para saksi yang tidak mustahil melakukan kekeliruan.
Sedangkan nash-nash yang dzanny dalalahhnya adalah nash-nash yang menunjukkan kepada suatu arti akan tetapi ada kemungkinan bisa ditakwilkan[4].
Contoh-contoh Dalil Dzanni
  Al Baqarah : 228

Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”. (Al Baqarah : 228)
Lafadz quru dalam bahasa arab adalah musytarak (satu kata dua artinya atau lebih).  Di dalam ayat tersebut bisa berarti bersih (suci) dan kotor (masa haidh) pada nash tersebut memberitahukan bahwa wanita-wanita yang ditalak harus menunggu tiga kali quru’.
Dalam hal ini sangatlah wajar apabila para ulama’ berbeda pendapat , lafazd ‘am, dan yang sewmacamnya mengandung pemahaman yang yang dzanny, karena meskipun menunjuk pada suatu arti , akan tetapi ada kemungkinan pemahaman yang lain,
Al Maidah : 3

Artinya : “ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai dan darah”. (Al-Maidah : 3).
Lafadz Al-Maitatu di dalam ayat tersebut ‘Am, yang mempunyai kemungkinan mengharamkan setiap bangkai atau keharaman itu dikecualikan selain bangkai binatang laut/air. karenanya nash yang dimaksud ganda atau lafadz ‘Am mutlak dan yang seperti itu maka disebut zhanni dalalahnya. hal ini disebabkan karena lafadz tersebut mempunyai suatu arti tetapi juga mungkin berarti lain.
Dengan demikian istilah qoth’i dan dzanni menyangkut soal nilai suatu dalil , hal-hal yang qoth’i tidak diragukan lagi, sudah tentu berbeda dengan yang dzanni baik didalam fungsinya maupun didalam tenpatnya

C.    DALIL KULLY
Dalil kully adalah dall yang mempunyai sifat keseluruhan dan tidak menunjukkan kepada sesuatu persoalan tertentu dari perbuatan mukalaf [5]. Dalil kully ini ada kalanya ayat al-qur’an, as-sunnah, dan kaidah fiqhiyyah.
Dalil kully adakalanya berupa ayat-ayat al-Qur’an, Sunnah, dan kaidah fiqhiyah . Contoh dari ketiganya ialah:
Firman Allah surah al-Baqarah ayat 29:

“Dialah Allah yang menjadikan segala sesuatu yang ada di bumi untuk kamu.”
Ayat di atas menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi ini boleh untuk dipergunakan oleh manusia. Kata 
مَا فِى الأَ رْضِ جَمِيْعًا (segala sesuatu yang ada di bumi) bersifat umum mencakup
 semua yang ada di darat dan di laut.
Dari ayat ini diambil dasar kaidah:
الأَصْلُ فِى الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ
“Pokok hukum segala sesuatu adalah membolehkan”.
Hadist Nabi yang berbunyi:
عَنْ أَبِى سَعِيْدِ بْنِ مَالِكٍ بْنِ سَنَانٍ الخُدْرِى قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى   اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ :لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Dari Abu Sa’id bin Malik bin Sanan al-Khudriy, bersabda Rasulullah saw: “Tidak boleh memadlaratkan diri sendiri dan tidak boleh dimadlaratkan orang lain” (H.R. Ibnu Majah dan Daru Quthniy).[6]
Hadits di atas melahirkan kaidah kemaslahatan, yakni membina segala ketetapan dibangun atas dasar kemaslahatan.
Kaidah fikih yang berbunyi:

“Kesukaran itu mendatangkan kemudahan”.
Di antara contoh dalil yang juz’iy adalah ayat:

“Hai orang-orang yang beriman! Diwajibkan puasa atas kamu sekalian”.
Dalam pembahasan mengenai kedua dalil ini harus dibedakan antara dalil yang kully dengan lafadz ‘am,dan dalil yang juz’iy dengan lafadz khas. Istilah ‘am dan khas, dikenal di dalam kajian lafadz atau pendekatan linguistik (kebahasaan) terhadap ayat-ayat al-Qur’an, di mana yang difokuskan adalah makna ayat dari sudut pandang kata perkata.[7]

D.    Dalil Juz’i
Dalil juz’I atau tafsili adalah dalil yang menunjukkan kepada suatu persoalan dengan satu hukum tertentu.
Contohnya :

Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagai mana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa.” (Q.S. Al-Baqoroh :183)
Ayat diatas termasuk kedalam dalil juz’I, karena hanya menunjukkan kepada perintah puasa saja.[8]
Al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam menjelaskan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya dengan cara:
Penjelasan rinci (juz’i) terhadap sebagian hukum-hukum yang dikandungnya, seperti yang berkaitan dengan masalah akidah, hukum waris, hukum-hukum yang terkait dengan masalah pidana hudud, dan kaffarat. Hukum-hukum yang rinci ini, menurut para ahli ushul fiqih disebut sebagai hukum ta’abbudi yang tidak bisa dimasuki oleh logika.
 Penjelasan Al-Qur’an terhadap sebagian besar hukum-hukum itu bersifat global (kulli), umum , dan mutlak, seperti dalam masalah shalat yang tidak dirinci beberapa kali sehari dikerjakan, berapa rakaat untuk satu kali shalat, apa rukun dan syaratnya. Demikian juga dalam masalah zakat, tidak dijelaskan secara rinci, dan berapa benda yang wajib dizakatkan, berapa nisab zakat, dan berapa kadar yang harus di zakatkan. Untuk hukum-hukum yang bersifat global, umum dan mutlak ini, Rasulullah Saw, melalui sunnahnya, bertugas menjelaskan, mengkhususkan, dan membatasi.[9]



















BAB III
PENUTUP
            KESIMPULAN
Dari uraian yang dipaparkan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dalil syar’iyyah merupakan sumber rujukan bagi penetapan hukum. dalil merupakan bukti, indikasi atau petunjuk yang terdapat didalam didalam sumber-sumber dimana ketentuan syariat atau hukum, di simpulkan. Sehingga segala sesuatu perbuatan yang dikerjakan oleh mukallaf dapat dikanai hukum syara.
Adapun pembagian dalil dapat dilakukan dalam berbagai aspek. Jika Ditinjau dari segi asalnya dalil dapat dikelompokkan menjadi dua : Dalil naqli dan Dalil aqli. Ditinjau dari ruang lingkupnya yaitu : Dalil kulli dan Dalil juz’I, dan jika Ditinjau dari segi daya kekuatannya digolongkan kedalam Dalil qoth’I dan Dalil dhonni.
          Qath’I menurut bahasa mempunyai arti putus, pasti atau diam. Sedangkan menurut istilah adalah dalil yang jelas dan terbentuk hanya memiliki satu makna dan tidak membuka penafsiran yang lain.
 Dalil dzonni adalah suatu dalil yang asal-usul historisnya (al-wurud), penunjukkan kepada maknanya (ad-dalalah), atau kekuatan argumentatif maknanya itu sendiri (al-hujjiyah) diduga kuat sebagai benar, seperti keputusan hakim yang didasarkan atas keterangan para saksi yang tidak mustahil melakukan kekeliruan.
Dalil kully adalah dall yang mempunyai sifat keseluruhan dan tidak menunjukkan kepada sesuatu persoalan tertentu dari perbuatan mukalaf [10]. Dalil kully ini ada kalanya ayat al-qur’an, as-sunnah, dan kaidah fiqhiyyah.
Dalil juz’I atau tafsili adalah dalil yang menunjukkan kepada suatu persoalan dengan satu hukum tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Djazuli, Prof. Drs. H.A., Dr. I. Nurol Aen M. A ,Ushul Fiqih,(Metodologi Hukum Islam),(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2014).        
Wahhab Khallaf, Abdul, Prof., Ilmu Ushul Hadits, ( Semarang  :  Dina Utama  Semarang , 1994 )
Www. Makalah Ushul Fiqih Dalil Qoth’i Dan Dzonni 21/11/2015
Www.Dalilkullydanjuz’i.com,(30,09,2015)


























[1] Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I. Nurol aen  M. A ,Ushul Fiqih(Metodologi Hukum Islam),(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), halaman 86.
[2] www. Makalah ushul fiqih dalil qoth’i dan dzonni 21/11/2015
[3] Prof. Abdul Wahhab Khallaf., Ilmu ushul hadits, ( Semarang  :  Dina Utama  Semarang , 1994 ), halaman  36.
[4] Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I. Nurol Aen M. A ,Ushul Fiqih,(Metodologi Hukum Islam),(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014), halaman 85-86.
[5] Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I. Nurol Aen M. A ,Ushul Fiqih(Metodologi Hukum Islam),(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2014), halaman 86.
[6] Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I. Nurol Aen M. A ,Ushul Fiqih, (Metodologi Hukum Islam),(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014).
[7] Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I. Nurol Aen M. A ,Ushul Fiqih(Metodologi Hukum Islam),(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014).
[8] Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I. Nurol Aen M. A ,Ushul Fiqih(Metodologi Hukum Islam),(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada).
[9] www.dalilkullydanjuz’i.com ,(30,09,2015/14.35 WIB).
[10] Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I. Nurol aen M. A ,ushul fiqih(metodologi hukum islam),(jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014),halaman 86.

No comments:

Post a Comment

Misteri kabut

 Tidak masalah  Tanpa masalah  Non masalah  ???