AL-QUR’AN
SEBAGAI SUMBER DALIL HUKUM SYARA’, DALIL QATH’I, DAN DZANNI,
DALIL
KULLI DAN JUZ’I
Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas mata kulyah Ushul Fiqih
Dosen pengampu : Mahdaniyal . H.N., M.S.I
Disusun oleh :
1. Ah. Birrul Walidain
( 113019 )
2. M. Kholil Ma'sum ( 113063 )
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PATI (STAIP)
PROGRAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
JURUSAN TARBIYYAH
TAHUN 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan nama kitab suci Allah
Swt. Yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dengan perantaraan malaikat
Jibril. Dalam kajian ushul fiqih, Al-Qur’an juga disebut beberapa nama seperti :
Al-Qur’an adalah kalam Allah berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, dengan perantaraan malaikat Jibril serta diriwayatkan secara
mutawatir dan tertulis dalam mushaf.
Pembahasan Qath’i dan Dzanni, Kully dan Juz’i hanya dapat ditemukan
di kalangan ahli ushul fiqh ketika mereka menganalisis kebenaran sumber suatu
dalil serta kandungan makna dalil itu sendiri. Dalam kitab-kitab Ushul fiqh, telah disepakati para
ulama ushul, bahwa Qath’i adalah yang secara tegas telah ditentukan oleh nash. Dalam
pengertian yang lebih sesuai, Qath’i dalam hukum Islam adalah sesuatu yang
bersifat pasti, tidak berubah-ubah dan karena itu bersifat fundamental, yakni
nilai kemaslahatan atau keadilan. Sementara Dzanni secara harfiyah berarti
persangkaan atau hipotesis yang merupakan kebalikan dari yang Qath’i
(kategori). Yakni ajaran atau petunjuk agama baik dari al-Qur'an maupun Hadits Nabi
yang bersifat jabaran (implementatif) dari prinsip-prinsip yang universal. Dalil kully adalah dalil yang mempunyai
sifat keseluruhan dan tidak menunjukkan kepada sesuatu persoalan tertentu dari
perbuatan mukalaf [1].
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi dalil Qath’i.
2. Bagaimana definisi dalil Dzanni.
3. Bagaimana definisi dalil Qully.
4. Bagaimana definisi dalil Juz’i.
BAB 1I
PEMBAHASAN
A. Pengertian Dalil Qath’i
Qath’I menurut bahasa mempunyai arti putus,
pasti atau diam. Sedangkan menurut istilah adalah dalil yang jelas dan
terbentuk hanya memiliki satu makna dan tidak membuka penafsiran yang lain.[2]
Nash-nash Al-Qur’an, seluruhnya bersifat qoth’i dari segi kehadiranya dan
ketetapanya , dan periwayatanya dari Rosulullah.[3]
Menurut Abdul Wahab Khallaf Qath’I adalah sesuatu yang menunjukan
kepada makna tertentu yang harus dipahami dari teks (ayat atau hadist). Qath’I dan Zhonnimerupakan
salah satu bahasan yang cukup rumit dikalangan ahli ushul fiqh ketika mereka
berhadapan dengan kekuatan suatu hukum (hujjah suatu dalil) atau sumber suatu
dalil.
Dalam dalil Qath’I ada ketentuan-ketentuan dalam al-Qur’an mengenai
rukun-rukun agama seperti shalat dan puasa, bagian-bagian tertentu dalam
kewarisan dan hukum-hukum yang telah ditetapkan semuanya yang tidak
mungkin dibantah oleh siapapun, setiap orang wajib mengikutinya dan
ketentuan-ketentuan ini tidak membuka peluang bagi ijtihad.
Nash-nash yang qoth’i adalah nash-nash yang menunjukkan kepada suatu arti
yang pemahamannya tertentu , tidak mungkin ditakwilkan dan tidak mungkin
diphahamkan lain.seperti ayat dibawah ini :
Tentang warisan
Artinya :Dan bagimu (suami-suami) seper dua
dari harta yang ditiggalkan oleh istri-istrimu jika mereka tidak mempunyai anak
(an-Nisa')
Ayat ini qoth’i dalalahnya karena dengan tegas hak suami yang ditinggalkan
oleh mati istrinya yang tidak punya anak,
artinya bahwa bagian suami dalam keadaan seperti ini adalah seperdua, tidak
yang lain.
Tentang hukuman had zina
Artinya : Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari
keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada
Allah dan hari Kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan
oleh sebagian orang-orang yang beriman. (an-Nur : 2)
Ayat-ayat yang menyangkut hal-hal tersebut, maknanya jelas dan
tegas dan menujukkan arti dan maksud tertentu dan dalam memahaminya tidak memerlukan
ijtihad.
Tentang hukuman menuduh berzina
Artinya “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”
Bahwa seorang yang menuduh wanita baik-baik berbuat
zina, sedangkan ia tidak memiliki 4 orang
saksi maka ia didera sebanayak 80 kali deraan sebagai hukuman telah menuduh.
Kata “delapan puluh” merupakan kata yang sudah jelas dan tidak
mungkin kata tersebut dita’wil menjadi
kalimat lain.
B. Pengertian Dalil Dzanni
Secara bahasa yang dimaksud dengan Dzanni
adalah perkiraan, sangkaan (antara benar dan salah). Adapun Dzanni menurut
kesepakatan ulama adalah dalil (ayat atau hadis) yang menunjuk kepada suatu
makna yang mengandung pengertian lain.
Dalil dzanni adalah suatu dalil yang
asal-usul historisnya (al-wurud), penunjukkan kepada maknanya (ad-dalalah),
atau kekuatan argumentatif maknanya itu sendiri (al-hujjiyah) diduga kuat
sebagai benar, seperti keputusan hakim yang didasarkan atas keterangan para
saksi yang tidak mustahil melakukan kekeliruan.
Sedangkan nash-nash yang dzanny dalalahhnya
adalah nash-nash yang menunjukkan kepada suatu arti akan tetapi ada kemungkinan
bisa ditakwilkan[4].
Contoh-contoh Dalil Dzanni
Al Baqarah : 228
Artinya :
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan
diri (menunggu) tiga kali quru”. (Al Baqarah :
228)
Lafadz quru dalam bahasa arab
adalah musytarak (satu kata dua artinya atau lebih). Di
dalam ayat tersebut bisa berarti bersih (suci) dan kotor (masa haidh) pada nash
tersebut memberitahukan bahwa wanita-wanita yang ditalak harus menunggu tiga
kali quru’.
Dalam hal ini sangatlah wajar apabila para ulama’ berbeda
pendapat , lafazd ‘am, dan yang sewmacamnya mengandung pemahaman yang yang
dzanny, karena meskipun menunjuk pada suatu arti , akan tetapi ada kemungkinan
pemahaman yang lain,
Al Maidah : 3
Artinya : “ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai dan
darah”. (Al-Maidah : 3).
Lafadz Al-Maitatu di dalam ayat
tersebut ‘Am, yang mempunyai kemungkinan mengharamkan setiap bangkai atau keharaman
itu dikecualikan selain bangkai binatang laut/air. karenanya nash yang dimaksud
ganda atau lafadz ‘Am mutlak dan yang seperti itu maka disebut zhanni
dalalahnya. hal ini disebabkan karena lafadz tersebut mempunyai suatu arti tetapi
juga mungkin berarti lain.
Dengan demikian istilah qoth’i dan dzanni
menyangkut soal nilai suatu dalil , hal-hal yang qoth’i tidak diragukan lagi,
sudah tentu berbeda dengan yang dzanni baik didalam fungsinya maupun didalam
tenpatnya
C.
DALIL KULLY
Dalil kully adalah dall yang mempunyai sifat
keseluruhan dan tidak menunjukkan kepada sesuatu persoalan tertentu dari
perbuatan mukalaf [5]. Dalil kully ini ada
kalanya ayat al-qur’an, as-sunnah, dan kaidah fiqhiyyah.
Dalil kully adakalanya berupa ayat-ayat
al-Qur’an, Sunnah, dan kaidah fiqhiyah .
Contoh dari ketiganya ialah:
Firman Allah surah al-Baqarah ayat 29:
“Dialah Allah yang menjadikan segala sesuatu yang ada
di bumi untuk kamu.”
Ayat di atas menegaskan bahwa segala
sesuatu yang ada di muka bumi ini boleh untuk dipergunakan oleh manusia.
Kata
مَا فِى الأَ رْضِ جَمِيْعًا (segala sesuatu yang
ada di bumi) bersifat umum mencakup
semua yang ada di darat dan di laut.
Dari ayat ini diambil dasar kaidah:
الأَصْلُ فِى الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ
“Pokok hukum segala sesuatu
adalah membolehkan”.
Hadist Nabi yang berbunyi:
عَنْ أَبِى سَعِيْدِ بْنِ مَالِكٍ بْنِ سَنَانٍ الخُدْرِى قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ :لاَ ضَرَرَ وَلاَ
ضِرَارَ
“Dari Abu Sa’id bin
Malik bin Sanan al-Khudriy, bersabda Rasulullah saw: “Tidak boleh memadlaratkan
diri sendiri dan tidak boleh dimadlaratkan orang lain” (H.R. Ibnu Majah dan
Daru Quthniy).[6]
Hadits di atas melahirkan kaidah
kemaslahatan, yakni membina segala ketetapan dibangun atas dasar kemaslahatan.
Kaidah fikih yang berbunyi:
“Kesukaran itu mendatangkan kemudahan”.
Di antara contoh dalil yang juz’iy adalah ayat:
“Hai orang-orang yang beriman!
Diwajibkan puasa atas kamu sekalian”.
Dalam pembahasan mengenai kedua dalil ini harus dibedakan antara dalil yang
kully dengan lafadz ‘am,dan dalil yang juz’iy dengan lafadz khas. Istilah ‘am dan khas, dikenal
di dalam kajian lafadz atau pendekatan linguistik (kebahasaan) terhadap
ayat-ayat al-Qur’an, di mana yang difokuskan adalah makna ayat dari sudut
pandang kata perkata.[7]
D. Dalil Juz’i
Dalil juz’I atau tafsili adalah dalil yang
menunjukkan kepada suatu persoalan dengan satu hukum tertentu.
Contohnya :
Artinya :
“Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagai mana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa.” (Q.S. Al-Baqoroh :183)
Ayat diatas termasuk kedalam dalil juz’I,
karena hanya menunjukkan kepada perintah puasa saja.[8]
Al-Qur’an sebagai sumber utama hukum Islam menjelaskan
hukum-hukum yang terkandung di dalamnya dengan cara:
Penjelasan rinci (juz’i) terhadap sebagian
hukum-hukum yang dikandungnya, seperti yang berkaitan dengan masalah akidah,
hukum waris, hukum-hukum yang terkait dengan masalah pidana hudud, dan
kaffarat. Hukum-hukum yang rinci ini, menurut para ahli ushul fiqih disebut
sebagai hukum ta’abbudi yang tidak bisa dimasuki oleh logika.
Penjelasan Al-Qur’an terhadap sebagian besar
hukum-hukum itu bersifat global (kulli), umum , dan mutlak, seperti
dalam masalah shalat yang tidak dirinci beberapa kali sehari dikerjakan, berapa
rakaat untuk satu kali shalat, apa rukun dan syaratnya. Demikian juga dalam
masalah zakat, tidak dijelaskan secara rinci, dan berapa benda yang wajib
dizakatkan, berapa nisab zakat, dan berapa kadar yang harus di zakatkan. Untuk
hukum-hukum yang bersifat global, umum dan mutlak ini, Rasulullah Saw, melalui
sunnahnya, bertugas menjelaskan, mengkhususkan, dan membatasi.[9]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian yang dipaparkan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dalil
syar’iyyah merupakan sumber rujukan bagi penetapan hukum. dalil merupakan
bukti, indikasi atau petunjuk yang terdapat didalam didalam sumber-sumber
dimana ketentuan syariat atau hukum, di simpulkan. Sehingga segala sesuatu
perbuatan yang dikerjakan oleh mukallaf dapat dikanai hukum syara.
Adapun pembagian dalil dapat dilakukan dalam berbagai aspek. Jika Ditinjau
dari segi asalnya dalil dapat dikelompokkan menjadi dua : Dalil naqli dan Dalil
aqli. Ditinjau dari ruang lingkupnya yaitu : Dalil kulli dan Dalil juz’I,
dan jika Ditinjau dari segi daya kekuatannya digolongkan kedalam Dalil qoth’I
dan Dalil dhonni.
Qath’I menurut bahasa
mempunyai arti putus, pasti atau diam. Sedangkan menurut istilah
adalah dalil yang jelas dan terbentuk hanya memiliki satu makna dan tidak
membuka penafsiran yang lain.
Dalil dzonni adalah suatu dalil yang
asal-usul historisnya (al-wurud), penunjukkan kepada maknanya (ad-dalalah),
atau kekuatan argumentatif maknanya itu sendiri (al-hujjiyah) diduga kuat
sebagai benar, seperti keputusan hakim yang didasarkan atas keterangan para
saksi yang tidak mustahil melakukan kekeliruan.
Dalil kully adalah dall yang mempunyai sifat
keseluruhan dan tidak menunjukkan kepada sesuatu persoalan tertentu dari
perbuatan mukalaf [10].
Dalil kully ini ada kalanya ayat al-qur’an, as-sunnah, dan kaidah fiqhiyyah.
Dalil juz’I atau tafsili adalah dalil yang
menunjukkan kepada suatu persoalan dengan satu hukum tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Djazuli, Prof.
Drs. H.A., Dr. I. Nurol Aen M. A ,Ushul
Fiqih,(Metodologi Hukum Islam),(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2014).
Wahhab Khallaf,
Abdul, Prof., Ilmu Ushul Hadits, (
Semarang : Dina Utama
Semarang , 1994 )
Www.
Makalah Ushul Fiqih Dalil Qoth’i Dan Dzonni 21/11/2015
Www.Dalilkullydanjuz’i.com,(30,09,2015)
[1] Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I. Nurol aen M. A ,Ushul
Fiqih(Metodologi Hukum Islam),(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), halaman
86.
[3] Prof. Abdul Wahhab Khallaf., Ilmu
ushul hadits, ( Semarang : Dina Utama
Semarang , 1994 ), halaman 36.
[4] Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I. Nurol
Aen M. A ,Ushul Fiqih,(Metodologi Hukum
Islam),(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014), halaman 85-86.
[5] Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I. Nurol
Aen M. A ,Ushul Fiqih(Metodologi Hukum
Islam),(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2014), halaman 86.
[6] Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I. Nurol
Aen M. A ,Ushul Fiqih, (Metodologi Hukum
Islam),(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014).
[7] Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I. Nurol Aen M. A ,Ushul Fiqih(Metodologi Hukum Islam),(Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2014).
[8] Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I. Nurol
Aen M. A ,Ushul Fiqih(Metodologi Hukum
Islam),(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada).
[10] Prof. Drs. H.A. Djazuli, Dr. I.
Nurol aen M. A ,ushul fiqih(metodologi
hukum islam),(jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014),halaman 86.
No comments:
Post a Comment