MANUSIA SEBAGAI PESERTA DIDIK DAN HAMBA TUHAN
A. PENDAHULUAN
Peserta
didik adalah makhluk yang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan yang
memerlukan pendidikan.[1]
Di dalam pandangan yang lebih modern peserta didik tidak hanya dianggap sebagai
objek atau sasaran pendidikan, melainkan juga mereka harus diperlukan sebagai
subjek pendidikan, diantaranya adalah dengan cara melibatkan peserta didik
dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar.Kebutuhan peserta didik
merupakan acuan utama dalam menetapkan tujuan pendidikan.
Manusia
sebagai peserta didik hendaknya tidak melepaskan fitrahnya sebagai hamba Allah
SWT. Jadi, manusia merupakan makhluq yang dapat dididik, memungkinkan untuk
memeperoleh pendidikan, karena manusia lahir dalam keadaan tidak berdaya, lahir
tidak langsung dewasa.[2]
B. RUMUSAN
MASALAH
Dari
uraian diatas, maka rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana pengertian peserta didik dalam filsafat pendidikan
Islam?
2.
Bagaimana esensi peserta didik dalam filsafat pendidikan
islam?
3.
Bagaimana Manusia Sebagai Hamba Allah
dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam?
C. PEMBAHASAN
1. Pengertian
Peserta Didik
Peserta didik merupakan komponen
terpenting dalam pendidikan islam. Dalam perspektif islam, peserta didik
merupakan subjek dan objek. Dilihat dari segi kedudukannya, anak didik adalah
makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut
fitrahnya masing-masing, yaitu memerlukan bimbingan dan pengarahan yang
konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya.
Dalam bahasa Arab dikenal tiga
istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan kepada anak didik. Tiga istilah
tersebut adalah murid yang secara harfiah berarti orang yang membutuhkan
sesuatu, tilmidz yang berarti murid, dan tholib al-ilmi yang
menuntut ilmu, pelajar atau mahasiswa. Ketiga istilah tersebut seluruhnya
mengacu pada seorang yang tengah menempuh pendidikan.
Berdasarkan pengertian di atas, maka
anak didik dapat dicirikan sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan
atau ilmu, bimbingan, dan pengarahan. Dalam pandangan islam, hakikat ilmu
berasal dari Alloh. Sedangkan proses memperolehnya dilakukan melalui belajar
kepada Guru[3].
Menurut Hasan Fahmi, di antara tugas dan kewajiban yang perlu dipenuhi
peserta didik adalah;
1.
Peserta didik hendaknya senantiasa
membersihkan hatinya sebelum menuntut ilmu. Hal ini disebabkan karena belajar
adalah ibadah dan tidak syah ibadah kecuali dengan hati yang bersih.
2.
Tujuan belajar hendaknya ditujukan
untuk menghiasi ruh dengan berbagai sifat
keutamaan. Yaitu sebagai manusia individual
dan
sosial serta hamba Tuhan yang mengabdikan diri kepadaNya.
3.
Memiliki kemauan yang kuat untuk
mencari dan menuntut ilmu di berbagai tempat.
4.
Setiap peserta didik wajib
menghormati pendidiknya.
5.
Peserta didik hendaknya belajar
secara sungguh-sungguh dan tabah dalam belajar.
6.
Menghargai ilmu dan bertekad untuk
terus menuntut ilmu sampai akhir hayat.
Kesemua hal di atas cukup penting untuk disadari oleh setiap peserta didik,
sekaligus dijadikan sebagai pegangan dalam menuntut ilmu. Di samping berbagai
pendekatan tersebut, peserta didik hendaknya memiliki kesiapan dan kesediaan
untuk belajar dengan tekun, baik secara fisik maupun mental. Dengan kesiapan
dan kesediaan fisik dan psikis, maka aktivitas kependidikan yang diikuti akan
terlaksana secara efektif dan efisien. [4]
2. Esensi
Peserta Didik dalam Filsafat Pendidikan Islam
Dalam
pandangan pendidikan Islam, untuk mengetahui hakikat peserta didik, tidak dapat
dilepaskan hubungannya dengan pembahasan tentang hakikat manusia, karena
manusia hasil dari suatu proses pendidikan.[5] Peserta didik dalam pendidikan Islam harus memperoleh
perlakuan yang selaras dengan hakikat yang disandangnya sebagai makhluk Allah.
Dengan demikian, sistem pendidikan Islam peserta didik tidak hanya sebatas pada
obyek pendidikan, melainkan pula sekaligus sebagai subyek pendidikan.[6]
Dalam
perspektif falsafah pendidikan Islam, semua makhluk pada dasarnya adalah
peserta didik. Sebab, dalam Islam, sebagai murabbi, mu’allim, atau muaddib,
Allah Swt pada hakikatnya adalah pendidik bagi seluruh makhluk ciptaan-Nya.
Karenanya, dalam perspektif falsafah pendidikan Islam, peserta didik itu
mencakup seluruh makhluk Allah Swt, seperti malaikat, jin, manusia, tumbuhan,
hewan, dan sebagainya.
Dalam arti
khusus dalam perspektif falsafah pendidikan Islami peserta didik adalah seluruh
al-insan, al-basyar, atau bany adam yang sedang berada dalam proses
perkembangan menuju kepada kesempurnaan atau suatu kondisi yang dipandang
sempurna (al-Insan al-Kamil). Terma al-Insan, al-basyar, atau bany adam dalam
defenisi ini memberi makna bahwa kedirian peserta didik itu tersusun dari
unsur-unsur jasmani, ruhani, dan memiliki kesamaan universal, yakni sebagai
makhluk yang diturunkan atau dikembangbiakan dari Adam a.s. kemudian, terma
perkembangan dalam pengertian ini berkaitan dengan proses mengarahkan kedirian
peserta didik, baik dari fisik (jismiyah) maupun diri psikhis (ruhiyah) – aql,
nafs, qalb – agar mampu menjalankan fungsi-fungsinya secara sempurna, yaitu
suatu keadaan dimana dimensi jismiyah dan ruhiyah peserta didik, melalui proses
ta-lim, tarbiyah, atau ta’dib, diarahkan secara bertahap dan berkesinambungan
untuk mencapai tingkatan terbaik dalam kemampuan mengaktualisasikan seluruh
daya atau kekuatannya (quwwah al-jismiyah wa al-ruhiyah).
Sebagaimana
yang dijelaskan oleh Al-Rasyidin yang dikuti oleh Zainuddin et.al dalam bukunya
Filsafat Pendidikan Islam, setidaknya ada 3 istilah peserta didik yang dapat
dirangkum dalam esensi filsafat pendidikan Islam, yaitu;
1. Mutarabbi,
artinya manusia yang selalu
memerlukan pendidikan, baik dalam arti pengasuhan dan pemeliharaan fisik –
biologis, penambahan pengetahuan dan keterampilan, tuntunan dan pemeliharaan
diri, serta pembimbingan jiwa. Dengan demikian, mutarabbi mampu melaksanakan fungsi dan tugas penciptaan Allah SWT.
Tuhan maha pencipta, pemelihara dan pendidik bagi alam semesta.
2. Muta’allim, artinya peserta didik mempelajari
semua al-asma’kullah yang terdapat
pada ayat-ayat kauniyah maupun quraniyah dalam rangka pencapaian pengenalan,
peneguhan dan aktualisasi syahadah primordial yang telah pernah ia ikrarkan di
hadapan Allah Swt. Kemampuan peserta didik merealisasikan terhadap apa yang
pernah ia nyatakan ini merupakan essensi dari peserta didik itu sendiri dalam
filsafat pendidikan Islam.
3. Muta’addib, merupakan
proses pendisiplinan adab ke dalam jism, dan ruhnya, sehingga akal, ruh dan
hatinya pendisiplinan adab melalui mua’dib (pendidik). Esensinya dalam mutaadib
dalam pendisiplinan adab adalah ahklak, yaitu syariat yang menata hubungan
komunikasi antara manusia dengan dirinya sendiri, sesamanya dan mahkluk Allah
lainnya termasuk dalam semesta ini serta juga kepada sang pencipta dan
pemelihara serta pendidik alam semesta.
3. Manusia Sebagai
Hamba Tuhan dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
Menurut tinjauan kefilsafatan, manusia adalah makhluk yang bertanya, dalam
hal ini manusia sebagai makhluk yang mempertanyakan dirinya sendiri dan
keberadaannya.[7] Jadi,
Bagi filsafat pendidikan islam, penentuan sikap dan tanggapan tentang manusia
merupakan hal yang amat penting. Sebab manusia merupakan unsur terpenting dalam
usaha pendidikan. Manusia merupakan subyek pendidikan dan sebagai obyek
pendidikan, karena itu manusia memiliki sikap untuk dididik dan siap untuk
mendidik.[8]
Dalam konteks konsep hamba Allah, manusia harus menyadari betul akan
dirinya sebagai abdi. Hal ini berati bahwa manusia harus menempatkan dirinya
sebagai yang dimiliki, tunduk dan taat kepada-Nya yaitu Allah SWT. Karena,
Tuhan itu maha Esa, tidak terbatas dalam segala sesuatunya.[9]
Hal ini di dasarkan pada petunjuk ayat yang artinya “tidaklah Aku menciptakan
jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah atau ibadah kepadaKu”(Qur’an
surat adz- Dzariat :56).[10]
Dengan demikian kedudukan manusia dialam raya ini disamping sebagai
kholifah yang memiliki kekuasaan untuk mengolah alam dengan menggunakan segenap
daya dan potensi yang dimilikinya juga sekaligus sebagai ‘abd yaitu seluruh
usaha dan aktifitasnya itu harus dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada
Allah. Untuk dapat melaksanakan fungsi kekholifahan dan ibadah dengan baik ini
manusia perlu diberikan pendidikan, pengajaran, pengalaman, ketrampilan,
teknologi, dan sarana pendukung lainnya. Ini menunjukka bahwa konsep
kekholifahan dan ibadah dalam al qur’an erat kaitannya dengan pendidikan.
Manusia yang dapat melaksanakan fungsi-fungsi yang demikian itulah yang
diharapkan muncul dari kegiatan usaha pendidikan.[11]
Hasan Langgulung mengatakan bahwa manusia dianggap sebagai kholifah Allah
tidak dapat memegang tanggung jawab sebagai kholifah kecuali kalau ia
perlengkapi dengan potensi-potensi yang membolehkannya berbuat demikian. Lebih
lanjut Langgulung mengatakan bahwa al qur’an menyatakan beberapa ciri yang
dimiliki manusia untuk mampu melaksanakan fungsi kekholifahannya.[12]
Al-Qur’an tidak memandang manusia sebagai makhluk yang tercipta secara
kebetulan, atau tercipa dari kumpulan atom, tapi ia diciptakan setelah
sebelumnya direncanakan untuk mengemban satu tugas sebagai khalifah di muka
bumi ini, sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi.[13]
Ia dibekali Tuhan dengan potensi dan kekuatan positif untuk mengubah corak
kehidupan di dunia ke arah yang lebih baik. M. Quraisy Shihab menyimpulkan
bahwa kata khalifah itu mencakup dua pengertian.[14]
a.
Hakikat Manusia
Hakikat
manusia adalah sebagai berikut :
1) Makhluk yang memiliki tenaga dalam yang dapat menggerakkan hidupnya
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
2) Individu yang memiliki sifat rasional yang bertanggung jawab atas
tingkah laku intelektual dan sosial.
3) Seseorang yang mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif mampu
mengatur dan mengontrol dirinya dan mampu menentukan nasibnya.
4) Makhluk yang dalam proses menjadi berkembang dan terus berkembang tidak
pernah selesai selama hidupnya.
5) Individu yang dalam hidupnya selalu melibatkan dirinya dalam usaha untuk
mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang lain dan membuat dunia lebih baik
untuk ditempati.
b. Kewajiban manusia sebagai peserta didik dan hamba allah
1) kewajiban
manusia sebagai peserta didik
Ø Memprioritaskan diri dari akhlak
tercela dan bersifat buruk
Ø Peserta didik menjaga diri dengan
kesibukan-kesibukan duniawi dan
seharusnya berkelana jauh dari tempat tinggalnya.
Ø Tidak
membusungkan dada terhadap orang alim(guru).
Ø Tujuan belajar
menuntut ilmu adalah pembersihan batin dan menghiasinya dengan keutamaan serta
pendekatan diri kepada Allah.
Ø Penuntut ilmu tidak mengabaikan suatu disiplin ilmu apapun yang terpuji.
2) Kewajiban manusia sebagai hamba Allah.
a. Beriman kepada Allah
b. Taat kepada Allah
c. Berdzikir kepada Allah
d. Berdo’a kepada Allah
e. Bertawakkal kepada Allah
f. Husnudhan kepada Allah
g. Bersyukur kepada Allah
h. Ikhlas dan
bersabar terhadap cobaan dari Allah
j. Mengharap ridho Allah
c . Tanggung jawab manusia sebagai peserta didik dan hamba Tuhan
1.
Tanggung jawab
manusia sebagai peserta didik
Tujuan dari setiap proses pembelajaran
adalah menta’alim, mentarbiyah atau menta’dibkan al-‘ilm ke dalam diri setiap
peserta didik.
Berkenaan dengan tugas utama yang harus
dilakukan peserta didik adalah sebagaimana yang ditegaskan Rasulullah pada
salah satu hadits : menuntut ilmu merupakan kewajiban
bagi setiap muslim dan muslimat.
Berkenaan dengan tanggung jawab dalam
perspektif falsafah pendidikan islam, tanggung jawab peserta didik adalah
memelihara agar semua potensi yang dianugrahkan Allah SWT kepadanya dapat
diberdayakan sebagaimana mestinya.
2.
Tanggung jawab
manusia sebagai hamba Allah
Tanggung jawab manusia sebagai hamba
Allah menusia dalam perjalanan hidup dan kehidupannya pada dasarnya mengemban
amanah atau tanggung jawab yang dibebankan Allah kepada manusia agar dipenuhi,
dijaga dan dipelihara sebaik-baiknya.[15]
D. KESIMPULAN
Bahwa peserta didik dalam prespektif
Islam yaitu makhluk yang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan,
mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju kearah titik
optimal kemampuannya.
Sebab, peserta didik dalam Islam, sebagai murabbi, mu’allim, atau muaddib.
Dan peserta
didik dalam pendidikan Islam harus memperoleh perlakuan yang selaras
dengan hakikat yang disandangnya sebagai makhluk Allah SWT.
Kedudukan manusia dialam raya ini disamping sebagai
kholifah yang memiliki kekuasaan untuk mengolah alam
dengan menggunakan segenap daya dan potensi yang dimilikinya juga sekaligus
sebagai ‘abd yaitu seluruh usaha dan aktifitasnya itu harus dilaksanakan
dalam rangka beribadah kepada Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Al’Aliy, Alqur’an dan Terjemahannya, ( Bandung :
CV. Diponegoro : 2005 ).
Dr.H. Nizar, Samsul,
M.A, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers,2002)
http://tsu-basith.blogspot.com/2013/05/manusia-sebagai-peserta-didik-dan-hamba.html,
2/03/15 pukul 22.45.
Jalaluddin,
Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan “ Manusia, Filsafat, dan Pendidikan”(
Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada : 2013 ).
Malik al-Quz,
Anas Abdul, Ibnu Qayyim Berbicara tentang Manusia dan Semesta, (Jakarta
: Pustaka Azzam: 2001).
Nata, Abuddin, Filsafat
Pendidikan Islam, ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005 ).
Shaleh, Abdurrahman, Ilmu Pendidikan Dalam
Perspektif Islam.(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya., 1990).
Shihab, M. Quraisy, Membumikan
al-Qur’an,”Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat”, (
Bandung : Mizan, Cet. XXV : 2003 ).
Soegiono,
Tamsil Muis, Filsafat Pendidikan Teori dan Praktik ( Bandung :
PT. Remaja Rosdakarya : 2012 ).
Sudarsono, Filsafat Islam, (
Jakarta : PT Rineka Cipta : 2004 ).
Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu
Pengantar, ( Jakarta : PT. Rineka Cipta : 2001).
Uyoh Sadulloh, Pengantar
Filsafat Pendidikan, ( Bandung : Alfabeta : 2014 ).
[1] Soegiono,
Tamsil Muis, Filsafat Pendidikan Teori dan Praktik ( Bandung :
PT. Remaja Rosdakarya : 2012 ), hal 109.
[2]
Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, ( Bandung : Alfabeta :
2014 ), hal 71.
[5] Abdurrahman Shaleh, Ilmu Pendidikan Dalam
Perspektif Islam.(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya., 1990) h 45.
[6] Anas Abdul Malik al-Quz, Ibnu Qayyim
Berbicara tentang Manusia dan Semesta, Pustaka Azzam: Jakarta, (2001), Hal:
21
[7]
Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, ( Jakarta : PT. Rineka Cipta :
2001), hal 224.
[8]
Jalaluddin, Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan “ Manusia, Filsafat, dan
Pendidikan ” ( Jakarta : PT.
Grafindo Persada : 2013 ), hal 134.
[9]
Sudarsono, Filsafat Islam, ( Jakarta : PT Rineka Cipta : 2004 ), hal 34.
[10] Al’Aliy,
Alqur’an dan Terjemahannya, ( Bandung : CV. Diponegoro : 2005 ), hal
523.
[11]Abuddin Nata, Filsafat
Pendidikan Islam, ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005 ), hal 88.
[14] M. Quraisy
Shihab, Membumikan al-Qur’an,”Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat”,
( Bandung : Mizan, Cet. XXV : 2003 ), hal 158.
[15]
http://tsu-basith.blogspot.com/2013/05/manusia-sebagai-peserta-didik-dan-hamba.html,
2/03/15 pukul 22.45.
Iron-Stone-Habanero BBQ Sauce (5 oz) - TITNA BIKE
ReplyDeleteTasting a simple blend of bell peppers, onions, habanero peppers, cilantro, garlic, lime juice, winnerwell titanium stove salt, titanium solvent trap monocore garlic and titanium wallet a touch of lime juice, this sauce ford escape titanium 2021 is smith titanium